Menulis Hari ke-24
Orang
baru itu bernama Henri. Dia berkulit putih, hidung mancung, tinggi semampai
serta berabut agak kecoklatan. Pada umumnya orang di kampungku memenggilnya
Abang ganteng. Sebelum tinggal di kampung dia bersama keluarganya tinggal di
luar kota. Dia merupakan ponakan Bapak yang rumah lumayan jauh dari rumahku.
Sekarang dia tinggal bersama kami.
Bapak
sangat sayang dan mempercayai Henri
karena dia anak yang jujur, rajin, dan sopan. Bapak dan Ibu sudah dianggapnya seperti
orang tuanya sendiri. Semua keluargaku sangat sayang padanya. Dia merupakan
bagian dari anggota keluarga. Akhirnya aku punya Abang walau bukan saudara
kandung. Usia kami beda 4 tahunan. Hatiku merasa senang ada Henri yang bisa
membantu dan siap menemaniku pergi kemana saja Kerjaan rumah dan urusan dapur
dia ahlinya ketimbang aku.
Setiap
hari Aku dan Henri bermain dan bersenda
gurau di rumah seperti adek dan abang. Dia mengajariku bersih-bersih rumah dan
memasak. Menanam dan merawat bunga dia juga bisa. Semenjak dia berada di
rumahku tanaman bunga tumbuh subur serta
banyak yang berbunga. Pagi dan sore
hari dia mengajakku membersihkan halaman rumah. Karena halaman
rumah luas, dia memintaku untuk menyapu bagian depan dan bagian belakang untuknya.
Kerjaanku sekarang menjadi ringan karena ada
Henri yang selalu membantu.
Kebiasaan
dia bangun tidur langsung kedapur untuk memasak air. Lalu pergi mandi dan
langsung salat berjemaah di masjid. Kembali
ke rumah dia membuatkan minuman untuk semua orang. Bapak, Paman dan Dia akan
minum bersama-sama di ruang makan. Mereka mengobrol apa saja sambil
menghabiskan minumannya. Tidak ada yang perlu dikuatirkan padanya.
Merurutnya gadis yang menutup aurat terlihat anggun. Perempuan berhijab ibarat permen yang dibungkus rapat. Sebelumnya dia pernah menasehatiku supaya memakai kerudung. Semenjak itu kerudung selalu melekat di kepalaku. Jujur dia memang Abang yang baik.
Siang
ini kita pergi nonton pertandingan sepak bola di desa seberang. Kelompok dia akan
main lebih awal. Mereka bersiap-siap dengan menganti pakaian khusus untuk
pertandingan. Selepas itu meletakkan
semua pakaiannya di depanku. Aku hanya
sebagai penonton dan penyemangat mereka. Tanpa sengaja aku melihat dompet Henri terbuka. Terlihat jelas ada foto
diriku. Melihat situasi sangat mendukung karena penasaran aku langsung mengambil dompetnya. Mataku melotot melihat di belakang foto itu ada tulisan I
love you.
“Dek,
tolong ambilkan handuk kecil Abang dalam tas hitam itu!” tegur Henri sambil
menepuk lembut bahuku. Aku merasa kaget atas kehadirannya. Tanpa menjawab aku
langsung megambilkan handuk kecil yang dia minta. Henri ikut duduk di samping lapangan bersama
teman-temannya untuk istirahat sebentar. Mereka sedang asik berbincang-bincang
tentang keseruan pertandingan yang mereka lalui..
Pertandingan
sepak bola telah selesai. Teman- teman
berpamitan pulang duluan. Kita memilih berhenti dulu untuk makan sate di warung
depan lapangan. Penjualnya cantik dan ramah sekali namaya Nia. Henri dipanggil Nia
dengan sebutan Bule. Panggilan Bule dikhususkan untuk orang yang paling ganteng
di daerah itu. Tak sengaja mataku melihat Henri senyum-senyum pada Nia penjual sate
itu. Perasaanku mulai terganggu olehnya. Sambil makan sate aku mencuri-curi
memperhatikan wajah Henri yang dipanggil
Bule itu. Ternyata dia memang ganteng ditambah lagi bola matanya yang bewarna
coklat membuat hatiku berdebar.
“Ayo,
kita pulang!” ucapnya sambil memegang tanganku. Dia agak menyeretku
untuk segera melangkah. Tiada yang bisa kuperbuat selain tersenyum dan mengikutinya. Ketika berjalan
bersama, dia selalu memposisikan dirinya di sebelah kananku. Menurut tulisan
yang pernah kubaca di media sosial itu pertanda lelaki yang sangat menyukai
kita. Entah apa artinya aku tak tahu.
Biasanya
kita berjalan kemana pun penuh dengan canda dan tawa. Hari ini sungguh berbeda
hanya saling melempar senyum dengan langkah kaki yang sama. Teringat kembali akan tulisan yang ada dibelakang fotoku yang
sekarang berada dalam dompetnya. Apa
maksudnya? Batinku bertanya.
“Dek,
lihatlah orang di depan kita! sepertinya mereka sepasang kekasih. Mereka
kelihatan bahagia sekali. Dunia ini bagaikan milik mereka berdua ,” dia mulai
berkata-kata dengan alis terangkat melihat kearahku setelah setengah jam
membisu.
Aku
berhenti untuk memperhatikan orang yang dikatakanya itu. Lalu aku berpikir ini
kesempatan untuk mengetahui siapa kekasihnya.
“Bang
Henri, kapan mau membawa kekesihnya jalan-jalan seperti mereka?” tanyaku pelan. Dia berdiri menghadapku, tatapan matanya tajam menusuk hati.
Pandangannya kali ini penuh tanda tanya. Dia menggenggam tanganku lalu
menciumnya. Seketika Jantung berdetak
kencang, badan terasa menggigil
diserta wajahku terasa panas.
Bisa mati berdiri kalau seperti ini, batinku.
“Bang,
lihatlah orang di depan!” aku berkata lantang hingga tanganku terlepas dari
pegangannya. Cepat-cepat aku berjalan agak menjauh darinya. Kedua telapak
tangan kuletakkan di dada terasa detak jantung mulai normal. Terdengar sair
lagu yang dia nyanyikan
Entah
mengapa kurasa tak menentu.
Semenjak
aku mengenalimu,Sayang.
Terbayang
-bayang wajahmu di mataku.
Hingga tersentuh rasa indah di kalbu.
Aku
tak tahu mengapa aku rindu
Ingin
kucurahkan tetapi rasa malu
Cubalah
engkau mengerti isi hatiku
Di
dalam diam aku mencintaimu
Mendengar
senandung langunya yang dia nyanyikan
dengan suara yang serak-serak basah.
Hatiku
kembali bergetar dan membuatku tertunduk malu. Berusaha pura-pura tak tahu
maksudnya. Batuk-batuk dan muntah-muntah
kulakukan untuk memberhentikan nyanyiannya. Ahirnya dia menghampiriku sambil
menyodorkan air minum. Namun, aku menolaknya dengan mengelengkan kepala dan
berlalu dari hadapannya. Seketika langkah terhenti ujung kerudungku ditariknya.
Pelan-pelan kucoba menoleh ke belakang hingga terlepas tarikan itu. Hendri
tersenyum lebar. Entah apa maksudnya.
Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati
dan menunggu jawaban yang pasti.
Aku
melihat jam ditanganku sudah menujukkan pukul 17.45 artinya waktu magrib sudah
dekat. Teringat pesan Ibu pulang sebelum azan magrib. Nasehat orang tua harus
didengarkan supaya hidup selamat. Kalimat ini terngiang-giang ditelinga. Aku segera melangkah pulang dan tidak
menghiraukannya lagi. Dia berlari menyusul terdengar jelas langkahnya karena
jalan menurun sehingga cepat sampai kembali di sampingku.
Aku
berhenti sejenak untuk minum yang sedari
tadi sudah terasa haus. Sepertinya Henri sangat memahamiku, dia dengan cekatan
memberikan sebotol air minumnya padaku. Aku menerima sambil menundukkan kepala
sebagai tanda terima kasih padanya. Air kuminum terasa nikmat lain dari minum
air sebelumnya. Tanpa disadari aku terseyum-senyum sendiri.
“Kamu
kenapa, Sayang?”
Henri
menyapa sambil menatapku penuh tanda tanya. Kembali aku terdiam mendengar
kata-katanya barusan.
“
Apa maksudnya, Bang?” tanyaku pelan.
“I
love you,” jawabnya singkat sambil tersenyum.
Jantungku semakin bergetar kencang dan wajah terasa memanas seketika.
Apakah aku sedang jatuh cinta? Batinku bertanya-tanya. Sungguh perjalanan kali
ini sangat berbeda. Biasanya Bang Henri ramah, bicara biasa saja dan suka
menghibur. Kini dia membuatku seperti orang linglung.
Terkadang
hatiku terasa berbunga-bunga, ada rasa tidak percaya dan aneh rasanya. Terjawab sudah yang mengganjal di hati. Tulisan di foto itu memang ditujukan untukku.
Lelaki yang selama ini tinggal bersama kami. Diam-diam mencintaiku. Ah, ada apa denganku? Henri
sudah ku anggab Abang yang merupakan bagian dari keluarga. Mana mungkin aku dan
dia merubah menjadi cinta.
Kami
berjalan pulang saling diam tiada yang berani bicara hanya sesekali
lirik-lirikan saling berbalas senyum. Hilang canda tawa kami selama ini. Sampai di rumah aku langsung ke kamar.
Terdengar Henri minta izin pada Bapak dan Ibu mau pergi ke rumahnya untuk
beberapa hari. Aku mulai resah dan gelisah mendengarkannya. Perasaanku tidak
seperti biasanya. Semua pemberian dari Bang Henri menjadi perhataianku. Melihat
bedak dan liptik itu membuat hatiku merindu. Berdiri di depan kaca seakan ada
dia di sampingku. Bertanya-tanya sendiri serta senyum-senyum mengingat kejadian
tadi. Aneh tapi nyata, begitulah yang
aku rasa.
Dia
hadir dalam kehidupanku banyak membawa kenangan. Tapi entahlah, mungkin inikah
namanya cinta? Yang ku lihat dia selama ini adalah lelaki yang baik dengan
penampilan yang sangat sederhana. Pembawaannya, tenang dan sabar serta
bertanggung jawab pada pekerjaannya.
Dug!
Dag! Dig! Dug! Bunyi denyut jantungku ini. Setiap melihat dan berhadapan
dengannya selalu begitu. Perasaanku terasa melayang-layang. Entah bagaimana
rasa itu bisa timbul secepat itu. Mungkin karena dia sering mengajariku dalam
segala hal atau kerena selalu bersama. Aku tak tahu pasti dari mana asal
mulanya. Tanpa aku sadari dan aku mengerti rasa itu datang sendiri di hati. Jujur dia adalah lelaki yang baik karenanya
aku telah jatuh hati.
Sebenarnya
aku takut mencintai dan dicintai. Enak berteman bebas mau bicara apa saja.
Bersikap dan berbicara apa adanya. Tiada rasa dan rahasia yang ditutupi. Senyum dan tertawa hal yang
biasa. Menjadi saudara dan temannya aku lebih bahagia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar